Media Darling Ala Public Relations

DALAM dunia Public Relations, istilah media darling sebenarnya sudah dikenal sejak lama. Namun istilah tersebut mencuat di Indonesia sejak kehadiran Joko Widodo, ketika itu menjabat sebagai Wali Kota Solo.

Joko Widodo menjadi media darling karena sepak terjangnya di pemerintahan dan perpolitikan di Indonesia yang dianggap membawa perubahan bagi masyarakat. Berbagai gebrakan yang dilakukan Jokowi kerap dinanti masyarakat. Sehingga para media berlomba-lomba mengikuti kegiatan Jokowi, yang saat ini menjadi Presiden Republik Indonesia Ke 7.

Media darling kerap diartikan sebagai popularitas seorang tokoh atau lembaga yang menjadi sorotan positif dari semua media konvensional dan media sosial yang mengulas hampir semua kegiatan yang dilakukan oleh figure itu.

Terciptanya media darling terutama dipengaruhi oleh para jurnalis yang antusias mengangkat tokoh tersebut atas kegiatannya yang dinilai memiliki news value. Sehingga masyarakat tertarik untuk membaca informasi itu dan haus akan perkembangan isu tersebut.

Tentu tidak mudah menjadi tokoh media darling. Retno Wulandari, penulis buku “Media Darling ala Jokowi”(Gramedia, 2014), mencontohkan sosok Jokowi menarik bagi media karena dia menampilkan sosok yang otentik, rendah hati, terbuka dengan media, dan mengeluarkan pemikiran maupun program out of the box sehingga memiliki nilai berita yang tinggi.

“Ramah pada wartawan, selalu menjawab pertanyaan, dan gampang dihubungi oleh wartawan. Itu menjadi strategi Jokowi untuk menjadi media darling,” kata Retno di acara Jakarta Marketing Week 2015, Mall Kota Kasablanka, Senin (11/5/2015).

Dalam sesi “The Rise and Fall of Media Darling” ini, Retno menyebutkan Jokowi sebagai media darling karena persahabatan yang dibangun dengan wartawan berlandaskan empati dan keramahan.

Hal senada disampaikan juga oleh Bayu Widagdo, Wakil Pemimpin Redaksi Bisnis Indonesia. Bayu menilai Jokowi terbuka terhadap media bahkan gampang dihubungi media. “Tidak terlalu birokratis tetapi sekarang sedikit berbeda karena menjadi Presiden sehingga ada aturan protokoler kepresidenan,” katanya.

Menurut Bayu, kunci utama untuk mempertahankan posisinya sebagai media darling adalah konsistensi. Ketidakonsistenan ini bisa terjadi karena ada komunikasi yang tidak sampai ke masyarakat.

Korporate Darling

Untuk menciptakan media darling bagi perusahaan. Praktisi Public Relations harus cerdas memilih siapa tokoh yang akan dibentuk. Apakah pimpinan perusahaan atau image perusahaan?

Hal itu untuk menentukan strategi komunikasi sesuai dengan target yang diharapkan perusahaan. Misalnya, tim humas mendorong pimpinan perusahaan sebagai media darling.

Maka image perusahaan didasarkan oleh pimpinan itu sebagai icon perusahaan. Tetapi ketika pimpinan itu tidak lagi menjabat atau pensiun, maka tim humas akan bekerja keras untuk membentuk media darling dari pimpinan yang baru.

Di sisi lain, jika tim humas cukup cerdas menciptakan image perusahaan sebagai media darling. Maka siapa pun pimpinan perusahaan, apakah masih menjabat atau tidak.

Praktisi PR tidak akan bersusah payah membangun media darling karena dari awal isu yang digulirkan adalah image perusahaannya.

Nah, anda praktisi Public Relations yang mana?
Post a Comment (0)
Previous Post Next Post