Sejarah Surat Kabar di Indonesia



KELAHIRAN surat kabar di Indonesia mempunyai sejarah yang cukup panjang hingga perkembangannya saat ini. Dalam buku berjudul “Komunikasi Massa Suatu Pengantar” karya Drs. Elvinaro Ardianto, M.Si dan Dra. Lukiarti Komala Erdinaya, M.Si, 2005.

Beredarnya surat kabar nasional terbagi dalam lima periode, yaitu zaman Belanda, zaman Jepang, zaman Kemerdekaan, zaman Orde Lama, dan zaman Orde Baru

Secara singkat berikut ulasannya :

Zaman Belanda

Tahun 1744 menjadi masa pertama untuk percobaan menerbitkan media massa pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Van Imhoff dengan nama Bataviasche Nouvelles, tetapi surat kabar ini hanya mempunyai masa hidup selama dua tahun. 

Kemudian tahun 1828 diterbitkanlah Javasche Courant di Jakarta yang memuat berita-berita resmi dari pemerintahan, berita lelang, dan berita kutipan dari harian-harian di Eropa.

Untuk mencetak surat kabar zaman ini sudah menggunakan mesin cetak pertama di Indonesia yang datang melalui Batavia (Jakarta) oleh seorang bernama W. Bruining dari Rotterdam, yang waktu itu menerbitkan Het Bataviasche Advertantie Blad

Artikel surat kabar ini memuat iklan-iklan dan berita-berita umum yang dikutip dari penerbitan resmi di Nederland (Staatscourant).

Beberapa daerah di Indonesia yang sudah menerbitkan adalah Surabaya bernama Soerabajasch Advertantiebland kemudian berubah menjadi Soerabajasch Niews en Advertantiebland. Di Semarang terbit Semarangsche Advertetiebland dan De Semarangsche Courant

Beredarnya surat kabar lokal juga berkembang di Padang dengan menerbitkan Soematra Courant, Padang Handeslsbland, dan Bentara Melajoe. Sementara di Makasar, Ujung Pandang, diterbitkan Celebes Courant dan Makassarsch Handelsbland.

Secara umum, surat kabar yang muncul pada periode itu tidak mempunyai arti secara politis karena dari segi konten cenderung berbentuk iklan. 

Apalagi oplahnya tidak lebih dari 1000-1200 eksemplar per harinya. Pasalnya, setiap surat kabar yang beredar harus melalui penyaringan pihak pemerintahan Gubernur Jenderal di Bogor.

Pada 1885, seluruh daerah Indonesia yang dikuasai Belanda telah menerbitkan sekitar 16 surat kabar dalam bahasa Belanda dan 12 surat kabar dalam bahasa Melayu, seperti Bintang Barat, Hindia-Nederland, Dinihari, Bintang Djohar (Bogor), Selompret Melayu, Tjahaja Moelia, dan Pemberitaan Bahroe (Surabaya). Sedangkan surat kabar berbahasa Jawa adalah Bromatani (Solo).

Zaman Jepang

Surat kabar – surat kabar yang beredar di Indonesia diambilalih secara pelan-pelan ketika wajah penjajah berganti Jepang. Bahkan beberapa surat kabar disatukan dengan alasan penghematan. 

Padahal, Pemerintah Jepang berniat memperketat pengawasan terhadat isi surat kabar yang beredar.

Kantor Berita Antara, saat ini di bawah BUMN, pernah diambil alih dan diubah menjadi Kantor Berita Yashima yang berpusat di Domei, Jepang. 

Akibatnya, konten isi berita dimanfaatkan sebagai alat propaganda untuk memuji-muji pemerintahan Jepang. Wartawan Indonesia yang bekerja saat itu hanya pegawai biasa sedangkan posisi yang mempunyai kedudukan tinggi didatangkan langsung dari Jepang.

Salah satu surat kabar yang terbit pada masa ini adalah Tjahaja (ejaan baru Cahaya). Surat kabar ini sudah menggunakan Bahasa Indonesia dan diterbitkan di Bandung, Jawa Barat

Meski terbit di Indonesia, ini berita tentang segala kondisi yang terjadi di Jepang. Para pemimpinnya waktu itu adalah Oto Iskandar Dinata, R. Bratanata, dan Mohamad Kurdi.

Zaman Kemerdekaan

Ketika pemerintah Jepang menggunakan surat kabar sebagai alat propaganda pencitraan pemerintahannya. Wartawan Indonesia pun melakukan hal yang sama untuk melakukan perlawanan dalam hal sabotase komunikasi.

Salah seorang yang melakukan itu adalah Edi Soeradi. Ia melakukan propaganda agar rakyat berdatangan pada Rapat Raksasa Ikada pada tanggal 19 September 1945 untuk mendengarkan pidato Bung Karno. 

Dalam perjalanannya, Berita Indonesia berulang kali mengalami pembredelan dimana selama pembredelan para pegawai ditampung oleh surat kabar Merdeka yang didirikan oleh B.M. Diah.

Surat kabar lainnya yang dianggap sebagai media perjuangan adalah Harian Rakyat dengan Pemimpin Redaksi Samsudin Sutan Makmur dan Rinto Alwi. 

Dalam perjuangannya, surat kabar ini menampilkan ‘pojok’ dan ‘Bang Golok’ sebagai artikel untuk melakukan propaganda.

Tak hanya itu, surat kabar lainnya yang terbit pada masa ini adalah Soeara Indonesia, Pedoman Harian yang berubah menjadi Soeara Merdeka (Bandung), Kedaulatan Rakyat (Bukittinggi), Demokrasi (Padang), dan Oetoesan Soematra (Padang).

Zaman Orde Lama

Pasca Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, terdapat larangan terhadap kegiatan politik, termasuk media massa. Pada periode ini, penerbitan surat kabar baru menjadi sulit karena harus mendapat Surat Izin Terbit dan Surat Izin Cetak. 

Kondisi ini dimanfaatkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk melakukan slowdown atau mogok secara halus para buruh dan pegawai surat kabar.

Karyawan bagian setting melambatkan pekerjaannya yang membuat banyak kolom surat kabar tidak terisi menjelang batas waktu cetak (deadline). 

Pada akhirnya kolom tersebut diisi dengan iklan gratis. Hal ini menimpa surat kabar Soerabaja Post dan Harian Pedoman di Jakarta. Periode ini banyak terjadi kasus antara surat kabar pro PKI dan anti PKI.

Baca: Twitter Dorong Good Digital Citizenship

Zaman Orde Baru

Surat kabar yang dipaksa untuk berafiliasi kembali mendapatkan roh awalnya, seperti Kedaulatan Rakyat yang pernah berganti Dwikora pada zaman Orde Lama. Hal ini juga terjadi pada Pikiran Rakyat di Bandung. 

Bahkan pers kampus pun mulai aktif kembali. Namun, pengawasan dan pengekangan pada pers dalam hal konten tetap diberlakukan.

Artinya, pemberitaan yang dianggap merugikan pemerintah harus dibredel dan dihukum dengan pencabutan SIUP seperti yang terjadi pada Sinar Harapan, tabloid Monitor, dan Detik serta majalah Tempo dan Editor.

Pers lagi-lagi dibayangi dalam kekuasaan pemerintah yang cenderung ‘memborgol’ kebebasan pers dalam membuat berita serta menghilangkan fungsi pers sebagai kontrol sosial terhadap kinerja pemerintah. 

Bagi dunia pers, periode ini marak terjadi pembredalan surat kabar yang mengkritik kinerja pemerintah.

Post a Comment (0)
Previous Post Next Post